Membangun Adab dengan Tadabbur Al-Qur’an (01)

Oleh: Dr. Wido Supraha, M.Si.

Al-Qur’an Jamuan Adab dari Allah SWT

Al-Qur’an adalah jamuan adab dari Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui Malaikat Jibri a.s. untuk mengubah kondisi masyarakat jahiliyah menuju peradaban mulia. Tidaklah lahir perubahan kecuali mengawalinya dengan melahirkan masyarakat yang siap membangun peradaban, masyarakat yang terbiasa menegakkan setiap huruf dalam Al-Qur’an, masyarakat yang tidak pernah meremehkan adab-adab kecil meski sebesar biji sawi.

Rasulullah SAW pernah bersabda:

إِنَّ هَذَا الْقُرْآنَ مَأْدُبَةُ اللَّهِ فَخُذُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ فَإِنِّي لَا أَعْلَمُ شَيْئًا أَصْفَرَ مِنْ خَيْرٍ مِنْ بَيْتٍ لَيْسَ فِيهِ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ شَيْءٌ وَإِنَّ الْقَلْبَ الَّذِي لَيْسَ فِيهِ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ شَيْءٌ خَرِبٌ كَخَرَابِ الْبَيْتِ الَّذِي لَا سَاكِنَ لَهُ

“Sesungguhnya Al-Quran ini adalah jamuan Allah, maka ambillah darinya semampu kalian. Sungguh, aku tak mengetahui sesuatu yg lebih kosong dari kebaikan selain rumah yang di dalamnya tak ada bacaan Al-Quran. Sungguh, hati yg di dalamnya tak ada bacaan Al-Quran adalah hancur seperti hancurnya rumah yang tak berpenghuni”. (HR. ad-Darimi no. 3181)

Perubahan mental manusia tidak dengan revolusi, karena fitrahnya bersifat evolusi. Evolusi mental membutuhkan tahapan yang benar dengan konten yang tepat pada setiap tahapannya, sebagaimana pendidikan didefinisikan sebagai ‘a process of instilling something into human being’, sebuah proses menanamkan dan membangkitkan sesuatu ke dalam jiwa manusia secara berangsur-angsur. Demikian pula dengan Al-Qur’an yang membutuhkan 23 tahun lamanya hingga menjadi satu panduan kehidupan yang lengkap bagi manusia.

Di antara rahasia mengapa Al-Qur’an diturunkan di semenanjung padang pasir yang jarang memiliki sumber mata air (jazirah al-’Arab) ada pada kondisi mental masyarakatnya saat itu yang berada pada titik terdalam kegelapannya. Untuk menguasai sumber-sumber kehidupan seperti air, masyarakat Arab harus siap hidup berpindah-pindah (nomaden), dan agar lahir kekuatan maka terbentuklah kelompok-kelompok yang berujung pada fanatisme kelompok, saling membunuh atas nama kelompok, perbudakan, hingga rela mengubur hidup-hidup anak perempuan mereka hanya karena khawatir memalukan kabilah jika kelak tertawan musuh dari kabilah lain. Namun, semua persepsi dan tradisi yang penuh kegelapan ini berubah secara perlahan dengan cahaya Al-Qur’an hingga lahirlah pusat peradaban di Kota Besar yang Terang Benderang (Madinah al-Munawwarah).

Sejarah mencatat bahwa kegelapan itu mendapatkan cahayanya dari Al-Qur’an. Cahaya itu menerangi langit dan bumi sehingga membangun kerajaan dalam jiwa manusia. Masyarakat Arab perlahan tapi pasti mengalami perubahan sesuai standar Al-Qur’an. Mereka menjadi gemar tersenyum kepada saudaranya, mencium dan memeluk anak-anaknya dengan penuh kasih sayang, bahkan mengulurkan tangannya untuk menyuapi istrinya di kala sehat. Dimanapun Al-Qur’an berada, akan terjadi Islamisasi, karenanya Arab telah terislamisasi, bukan Islam yang telah terarabkan. 

Islam memang diturunkan di Arab, namun perubahan mental dengan nilai-nilai Al-Qur’an niscaya akan terus terjadi, terlebih pada wilayah dengan kondisi yang tidak segelap Arab. Fakta proses penurunan Al-Qur’an dengan seluruh sejarah penurunannya (asbab an-nuzul) yang bertahap itu, jika direnungkan secara mendalam, wajib ditetapkan menjadi referensi kurikulum terbaik. Kurikulum yang dibangun tidak sekedar berbasis teori, apalagi spekulasi filosofis manusia, melainkan telah teruji sehingga setiap manusia dapat menggunakan prinsip-prinsip inti atau kuncinya dan kemudian dapat berkreasi menyesuaikan dengan perubahan di setiap zamannya. 

Pengenalan pada prinsip-prinsip kunci sangat dibutuhkan dalam membangun kurikulum hari ini, sehingga tidak lagi bersifat bongkar-pasang (trial-error). Al-Qur’an hadir mengubah jiwa manusia sehingga tertarik menjadi guru dan sosok-sosok teladan dalam adab dan ilmu. Para orang tua, para ayah dan bunda, akan segera tertarik melibatkan diri mereka sebagai guru biologis sekaligus guru ideologis bagi anak-anaknya (Q.S. At-Tahrim [66] ayat 6).

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا قُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا وَّقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلٰۤىِٕكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُوْنَ اللّٰهَ مَآ اَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ

Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.

Seorang ayah akan segera tersadar bahwa dirinya diwajibkan banyak terlibat aktif dalam proses mendidik anak-anaknya seperti keterlibatan untuk turut berkisah dan berdialog, bukan sekedar ‘mesin uang ATM’ bagi anak-anaknya. Seorang bunda akan segera tersadarkan bahwa pelayanannya kepada keluarga jauh lebih mulia dibandingkan pelayanannya kepada perusahaan dimana ia bekerja. Kebahagiaan jiwa yang tidak sekedar dinilai dengan uang akan mulai dirasakan, dan inilah awal dari perjalanan meraih kebagiaan sejati di Jannah kelak.

Jangan khawatir para sahabat Al-Qur’an tidak akan menjadi sosok-sosok prestatif di dunia seperti pengusaha, dokter, ahli militer, sejarawan, astronom, fisikawan, pemimpin negeri, atau lainnya, karena peradaban Islam yang gemilang adalah sejarah utuh yang mencatat lahirnya prestasi di berbagai bidang yang tidak terhitung jumlahnya justru hadir karena pengaruh dan semangat yang tinggi di atas kepahaman yang mendalam dari kandungan is Al-Qur’an. Justru khawatirlah jika kita mencapai puncak karir dalam posisi duniawi kita namun tidak dibangun di atas kepahaman Al-Qur’an. Apakah kita menginginkan sosok-sosok anak yang kaya seperti ‘Utsman bin ‘Affan r.a., ‘Abdurrahman bin ‘Auf r.a. dan Sa’ad bin Rabi’ r.a., ataukah seperti Fir’aun, Qarun, dan Haman?

Tidak ada yang bebas nilai (value free) dalam kehidupan ini, semuanya terikat dengan nilai (value laden). Jika bukan nilai Al-Qur’an yang digunakan maka mungkin nilai Yunani Kuno, Mesopotamia, China, India, Atheisme dan nilai-nilai lainnya yang secara tanpa sadar dijadikannya sebagai landasan berpikir. Pemahaman adalah imunitas terbaik dalam proses berpikir akal dan proses penghayatan jiwa manusia, termasuk pada tahap pertumbuhan anak-anak. Dimanapun berada, ragam kondisi apapun yang ada di sekitarnya, tidak ada yang dapat mengubah hidayah yang telah tertanam dalam bentuk kepahaman dalam setiap individu (Q.S. Al-Maidah [5] ayat 105).

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا عَلَيْكُمْ اَنْفُسَكُمْ ۚ لَا يَضُرُّكُمْ مَّنْ ضَلَّ اِذَا اهْتَدَيْتُمْ ۗ اِلَى اللّٰهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيْعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ

Wahai orang-orang yang beriman! Jagalah dirimu; (karena) orang yang sesat itu tidak akan membahayakanmu apabila kamu telah mendapat petunjuk. Hanya kepada Allah kamu semua akan kembali, kemudian Dia akan menerangkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.

Bersambung.

💢 instagram.com/sekolahadabinsanmulia
🌐 sekolahadab.com

Urgensi Seorang Muslim Mentadabburi Al-Qur’an

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s